REFLEKSI DAN UMPAN BALIK BUDAYA POSITIF DI SEKOLAH
Tulisan ini, menyajikan refleksi kritis modul 1.4 Budaya Positif dalam mengikuti pembekalan calon fasilitator pendidikan guru penggerak angkatan 21 tahun 2024 pada hari ke-7. Pada bagian akhir tuisan ini, disajikan unpan balik memberdayakan dari Fasilitator Yuli Cahya agar pembaca bisa mendapatkan informasi yang berimbang dan membangun.
Sebagai pendidik, kita telah belajar bersama tentang filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, nilai-nilai peran guru penggerak dan visi guru penggerak. Tugas kita adaah bagaimana membangun budaya positif di sekolah sesuai dengan filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pendidikan yang berpihak pada murid.
Budaya positif merupakan pola perilaku, nilai, norma, dan sikap yang mendukung pertumbuhan, perkembangan, dan kesejahteraan individu atau kelompok di sekolah.
Paradigma baru pengelolaan sekolah yang barbasis budaya positif membuka wawasan baru kepada kita tentang (1) konsep budaya positif yang berdasarkan konsep perubahan paradigma Stimulus Sespons (SR) ke teori Kontrol (K) serta nilai-nilai kebajikan universal, (2) konsep makna disiplin, keyakinan kelas, hukuman dan penghargaan, teori kebutuhan dasar manusia, restitusi dengan lima posisi kontrol guru serta segitiga restitusi dan menerapkannya dalam ekosistem sekolah yang aman, dan berpihak pada murid, (3) menyusun strategi-strategi aksi nyata yang efektif dengan mewujudkan kolaborasi beserta seluruh pemangku kepentingan sekolah agar tercipta budaya positif yang dapat mengembangkan karakter murid, dan (4) menganalisis secara reflektif dan kritis penerapan budaya positif di sekolah dan mengembangkannya sesuai kebutuhan sosial dan murid.
Berikut ini penulis sajikan tanya-jawab tertulis antara Penulis sebagai peserta dengan Fasilitator modul 1.4 ini.
- Bagaimana konsep disiplin positif dalam Modul 1.4 ini memberikan wawasan baru bagi Anda, dan bagaimana pengalaman Anda sebelumnya dalam mendisiplinkan murid mempengaruhi pandangan Anda terhadap pentingnya pendekatan disiplin positif?
Konsep disiplin positif memberikan wawasan baru bagi saya dalam membangun budaya dan lingkungan positif di sekolah sebab selama ini, pendisiplinan anak atau siswa selalu dikaitkan pelanggaran tata tertib. Setiap kali anak melanggar, maaka setiap kali pula guru memberikan hukuman dengan harapan agar anak “jerah” dan tidak mengulangi perbuatannya. Bahkan dalam beberapa kasus pelanggaran disiplin yang saya tangani sebagai guru BK menunjukkan bahwa pemberian hukuman bukannya membuat anak “jerah” malah membuat anak “semakin jengkel”, bahkan tidak sedikit di antara anak yang dihukum itu “berani” melakukan perlawanan sehingga guru memberikan cap “anak nakal”, “pembangkang”, “kurang ajar” dan berbagai label lainnya yang semakin membuat anak terpuruk hingga melakukan tindakan agresif yang sangat berbahaya, baik bagi dirinya, orang lain bahkan ada yang melakukan “penyerangan” atau kekerasan kepada gurunya. Saya memiliki pengalaman yang sangat menarik pada tahun 2023. Ketika itu, saya menggagas sekolah ramah anak dengan Tagline “Mendisiplinkan Anak Tanpa Hukuman”. Apa yang terjadi? Pada saat itu, sebagian besar guru-guru memberikan “reaksi negatif terhadap gagasan ini. Umumnya guru beranggapan bahwa, “tidak mungkin sekolah bisa mendisiplinkan anak jika hukuman ditiadakan”. Bahkan ada yang memberikan argumentasi ilmiah, “bukankah punishment dan reward bagian dari pendidikan?. Kita harus menyadari bahwa, manusia sebagai makhluk individu memiliki kebutuhan bertahan hidup, butuh kebebasan, butuh kasih sayang, butuh kesenangan dan penguasaan. Belajar dari pengalaman tersebut saya menyadari bahwa pemberian hukuman bukanlah langkah tepat dalam mendisiplinkan anak, akan tetapi ada konsep baru yang jauh lebih humanis, ramah anak, lebih bijak, lebih sarat nilai yakni “penerapan disiplin positif”. Sebab secara konsepsional, Lingkungan yang aman dan nyaman berbasis disiplin positif di sekolah akan berdampak secara maksimal pada perkembangan dan pembentukan karakter peserta didik.
- Apa tantangan utama yang Anda hadapi dalam menerapkan disiplin positif di lingkungan sekolah Anda, dan bagaimana strategi
Anda untuk mengatasi tantangan tersebut agar tercipta budaya positif di sekolah? Tantangannya yang saya hadapi adalah: (1) komitmen diri pribadi untuk membangun budaya positif, (2) resistensi dari guru-guru yang masih senang memberikan hukuman, (3) tingginya angka kasus pelanggaran disiplin yang terjadi di sekolah, (4) dukungan orang tua terhadap penyelesaian kasus-kasus anak, (5) gempuran media sosial yang tak terkendali, (6) dukungan dari lembaga perlindungan anak dan aparat penegak hukum. Strategi mengatasi masalah: (1) membangun kepercayan diri atau konsep diri bahwa, disiplin itu harus dimulai dari diri kita sendiri, sebelum mendisiplinkan orang lain termasuk sekolah, (2) menjadikan disiplin positif sebagai salah satu misi yang harus tertulis secara eksplisit dalam visi-misi sekolah (lakukan revisi terbatas), (3) melakukan sosialisasi dan pelatihan intensif kepada guru dan staf TU mengani konsep budaya positif dalam membangu karakter anak yang disiplin dan bertanggung jawab, (4) mendorong guru-guru untuk menerapkan keyakinan kelas dalam pembelajaran, (5) melakukan sosialisasi penerapan budaya positif kepada orang tua siswa dan Komite Sekolah, (6) menyusun peraturan akademik dan berbasis budaya positif, (7) menyusun kesepakatan kelas penggunaan media sosial di lingkungan sekolah dan di luar sekolah, (8) menjalin kerja sama dengan lembaga perlindungan anak dan aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan pencegahan dan penanganan masalah-masalah kekerasan anak, (9) membuat pamphlet (papan bicara) tentang budaya positif di lingkungan sekolah.
- Bagaimana pendekatan disiplin positif yang Anda pelajari terhubung dengan praktik mendidik Anda di masa lalu, relevansinya dengan mendidik di masa kini, dan rencana Anda untuk memperkuat budaya positif di masa depan di sekolah?
Berdasarkan pengalaman saya sebagai guru BK selama kurang-lebih 30 tahun dan sebagai Kepala Sekolah sekitar 3 tahun menunjukkan bahwa, guru-guru memang senang menghukum, bahkan ada di natar mereka yang meyakini bahwa, “tanpa hukuman keras maka kenakalan akan semakin menjadi-jadi”. Anggapan ini, tentulah sangat keliru dan mesti kita luruskan bersama secara bijak bahwa hukuman hanyalah melahirkan anak yang sakit hati, stres, pendendam, agresif, bahkan tidak sedikit menyebabkan perundungan. Hasil pengamatan saya menunjukkan bahwa, setidaknya ada tiga kasus pelanggaran disiplin yang paling sering terjadi dan berujung pada pemberian “sanksi hukuman” yakni (1) kasus siswa putra yang rambutnya panjang (gondrong) biasa dihukum dengan mencukur “tokkak-tokak” (bahasa Makassar yang artinya dicukur pendek belang-belang). Kasus kedua adalah, siswa yang terlambat datang di sekolah dijejer berdiri di dekat pintu masuk (depan kantor) kemudian dinasihati oleh guru sambil memberikan hukuman membersihkan, berdiri di depan pintu kelas. Kasus ketiga yang sering saya temukan adalah, ada beberapa orang siswa yang sembunyi di kantin luar sekolah pada saat pembelajaran berlangsung karena menghindari hukuman dari gurunya. Pemberian hukuman hanya mendisiplinkan anak sesaat (sementara) dan tidak bisa berlanjut pada kehidupan nyata yang lebih luas di masyarakat. Akan tetapi dengan disiplin positif, maka anak akan mengikuti peraturan dalam masyarakat sebagai sebuah konsekuensi untuk hidup rukun dan damai. Bahkan, jika restitusi diterapkan dengan baik, maka kedisplina anak akan lahir dari kesadaran anak itu sendiri. Budaya positif dapat dilakukan dengan mengaitkan nilai-nilai kebajikan yang diyakini seseorang maka motivasi intrinsiknya akan terbangun, sehingga menggerakkan motivasi dari dalam untuk dapat mencapai tujuan mulia yang diinginkan. Kuncinya, “disiplin itu bukan slogan akan tetapi perilaku nyata sehari sebagai bentuk nilai- nilai-nilai keteraturan bermasyarakat”. Apabila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama kita, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paradigma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realita” (Modul PGP Kemdikbud Ristek). Menurut KHD dimana ada kemerdekaan, disitulah harus ada disiplin yang kuat. Sungguhpun disiplin itu bersifat ”self discipline” yaitu kita sendiri yang mewajibkan kita dengan sekeras-kerasnya, tetapi itu sama saja; sebab jikalau kita tidak cakap melakukan self discipline, wajiblah penguasa lain mendisiplin diri kita. Dan peraturan demikian itulah harus ada di dalam suasana yang merdeka. Prinsip saya dalam penerapan disiplin positif adalah, mari kita memberi ruang atau ekuilibrium yang luas kepada anak untuk bereksplorasi dan belajar mengambil tanggung jawab atas diri dalam lingkungannya dalam belajar. Maka, membangun self disiplin itu menjadi kunci penentu. Setiap anak membutuhkan kemerdekaan "mengubah perilaku melalui refleksi dan pembelajaran" adalah yang paling penting. Konsep ini menekankan bahwa anak tidak perlu dihukum akan tetapi yang lebih penting membangu kesadaran atau dan tanggunf jawab melalui konsep restitusi.
Berdasarkan kasus di atas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperkuat budaya positif di sekolah sebagai berikut:
- Sebagai GURU: (1) mengubah konsep diri sebagai pendidik yang senang menghukum menjadi pemberi solusi (2) mengikuti pelatihan mandiri tentang topik budaya positif dan sekolah ramah anak, (3) menerapkan keyakinan kelas dalam pembelajaran, (3) berusaha menggunakan pendekatan segitiga restitusi dalam menangani kasus pelanggaran disiplin, (4) membantu Kepala Sekolah membuat rumusan peraturan akademik yang ramah anak, (5) memperkuat koordinasi dan kerja sama dengan guru Bimbingan dan konseling (BK) dalam menangani kasus pelanggaran disiplin yang bersifat khusus, (6) melakukan koordinasi secara rutin dengan Kepala Sekolah atau wakasek Kesiswaan dalam menangani masalah-masalah pelanggaran disiplin.
- Sebagai KEPALA SEKOLAH: (1) merumuskan kebijakan yang mendukung penerapan budaya positif, (2) melakukan revisi terbatas terhadap visi-misi sekolah untuk memasukkan konsep budaya sebagai salah satu prakarsa perubahan, (3) menerbitkan Peraturan Akademik yang berbasis budaya positif, sosial emosional, restitusi, dan ramah anak, (3) pelaksanaan supervisi akademik diarahkan pada pengembangan pendekatan budaya positif dalam pembelajaran dan bimbingan (4) melaksanakan workshop Implementasi budaya di sekolah, (5) melakukan sosialisasi dengan orang siswa, orang tua dan masyarakat mengenai penerapan disiplin positif, (6) menjalin kerja sama dengan pihak lembaga perlindungan anak dan aparat penegak hukum dalam melakukan tindakan pencegahan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran disiplin berat, utamanya tindak kekerasan dan pelecehan seksual kepada anak.
- Sebagai PENGAWAS: (1) mendorong penerapan konsep budaya positif dan restitusi di sekolah-sekolah binaan, (2) memberikan pendampingan kepada guru dan Kepala Sekolah dalam mengimplementasikan budaya positif dan restitusi, (3) menjalin kerja sama pembinaan dan pencegahan kasus tindak kekerasan dengan lembaga perlindungan anak aparat penegak hukum.
===================================================
Umpan Balik dari Fasilitator:
ABDUL MAJID , 7 Des at 0:59
Dear Bapak Abdul Majid, Refleksi Bapak Abdul Majid dinilai sangat baik karena mencakup semua indikator dalam rubrik kebermaknaan refleksi. Bapak Abdul Majid menunjukkan pemahaman mendalam tentang disiplin positif yang lebih humanis dan ramah anak, dengan kesadaran bahwa pendekatan hukuman tradisional tidak efektif. Refleksi ini juga menggambarkan penerapan pendekatan berbasis keyakinan kelas yang menciptakan lingkungan aman dan mendukung. Analisis refleksi mengidentifikasi tantangan utama, seperti resistensi guru terhadap perubahan, kurangnya dukungan orang tua, dan pengaruh media sosial. Solusi yang diajukan sangat relevan, termasuk revisi visi-misi sekolah, pelatihan intensif, penggunaan segitiga restitusi, serta kerja sama dengan lembaga perlindungan anak. Strategi ini mencerminkan pendekatan yang sistematis dan realistis. Refleksi ini juga menunjukkan koneksi yang kuat antara pengalaman masa lalu berbasis hukuman dengan praktik disiplin positif di masa kini. Relevansi pendekatan ini dalam pendidikan masa kini sangat jelas, terutama dalam menciptakan lingkungan posisitf yang mendukung perkembangan karakter murid. Rencana masa depan mencakup kebijakan sekolah berbasis disiplin positif dan kolaborasi dengan orang tua untuk memastikan konsistensi. Bapak Abdul Majid juga mengkaitkan dengan model kompetensi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, sehingga refleksi tidak hanya mencerminkan pengalaman individu, tetapi juga mendukung capaian pembelajaran guru penggerak pada kompetensi diri dan kelas, kompetensi rekan sejawat dan kompetensi sekolah secara kolektif. Secara keseluruhan, refleksi ini memberikan wawasan, solusi, dan rencana implementasi yang jelas untuk membangun budaya positif di sekolah. Umpan balik dapat diarahkan pada penguatan kolaborasi antara guru dan orang tua untuk memastikan penerapan disiplin positif berjalan konsisten dan berkelanjutan. Yoel
(Yuli Cahyo , 9 Des at 18:42)
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
"Jejak KKN UINAM Angkatan 76: Langkah Kecil, Kolaborasi, Bersama Mencerdaskan Anak Bangsa!
Salenrang 9 Januari 2025, Mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) yang sedang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 76 Posko 8 De
Sosialisasi Penggunaan LMS UPTD SMPN 28 Satap Salenrang
SMPN28SALENRANG.SCH.ID. Maros—Pengawas Bina UPTD SMPN 28 Satap Salenrang, Asri, S.Ag., M.Si. membuka rapat pembagian tugas dan sosialisasi penggunaan Learning Management system&nb
Pasca Ulangan, OSIS UPTD SMPN 28 Satap Salenrang Laksanakan PORSENI
Ananda sekalaian, tidak terasa kita telah mengikuti ulangan atau asesmen akhir semester (AAS) dengan baik. Sambil menunggu waktu pembagian rapor, maka pasca ulangan ini kita isi d
BK: Profesi, bukan?
oleh: ABDUL MAJID Tulisan ini seakan “menggugat” kembali profesi konselor atau guru bimbingan dan konseling di sekolah sebagai wujud kecintaan saya sebagai guru BK selama 3
Tika: Profil Tokoh Minggu Ini
Firtriani Saltika, lahir di Maros, pada tanggal 01 Juli 2012. Tika panggilan akrabnya adalah anak ke-3 dari empat bersaudara dari pasangan ibunda Salmah dan ayahanda Muh. Rasyid.
PEMIMPIN PEMBELAJARAN DALAM PENGEMBANGAN SEKOLAH: REFLEKSI MODUL 3
Pada hari ke-11 Pembekalan Calon Fasilitator Pendidikan Guru Penggerak Kemdik Dasmen RI, Peserta diminta menyampaikan refleksi terhadap konsep pemimpin pembelajaran dalam pengemba
UPTD SMPN 28 Satap Salenrang Gunakan Chromebook dan HP pada Asesmen Akhir Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2024/2025
UPTD SMPN 28 Satap Salenrang laksanakan ulangan atau Asesmen Akhir Semester Ganjil tahun pelajaran 2024/2025 selama enam hari, mulai pada tanggal 9 sampai 16 Desember 2024 yang diikuti
Kegiatan AAJS di SMPN 28 Satap Salenrang Resmi Dimulai
Salenrang, 9 Desember 2024 – SMPN 28 Satap Salenrang memulai pelaksanaan kegiatan Assesment Akhir Jenjang Sekolah (AAJS) pada tanggal 9 hingga 16 Desember 2024. Kegiatan ini diiku
Tergerak, Bergerak, dan Menggerakkan: Refleksi Kritis Nilai Guru Penggerak
Artikel ini ditulis sebagai tugas mandiri Pembekalan Calon Fasilitator Pendidikan Guru Penggerak Angkatan 21 Kemristek Dikti. Semangat untuk mengapresiasi dan berpihak pada nilai-nilai
REFLEKSI FILOSOFI PENDIDIKAN KI HADJAR DEWANTARA
(Tugas Modul 1.1. Pembekalan Calon Fasilitator Pendidikan Guru Penggerak Kemdikbud Ristek) Tulisan ini dibuat sebagai tugas modul 2.1. pembekalan calon fasilitator pendidikan guru peng